Agansis.Com – Sosoknya tinggi besar, kerap dipanggil
‘Mas Ganteng’. Perjuangannya untuk menjadi sarjana menjadi inspirasi
yang layak direnungkan. Sejak SD, ia membiayai sekolah dan kuliah
sebagai pemulung.
Wahyudin (21), terlahir dari ayah berputra 5 yang berpoligami, Mija
(60) dengan Fatmawati (38), yang menjadi istri kedua, pada 12 Desember
1991 di Bekasi. Wahyu adalah sulung dari 3 bersaudara. Ayah dan ibu
Wahyu adalah petani yang menggarap lahan kosong milik orang lain. Dengan
kondisi itu, orang tuanya sibuk memenuhi kebutuhan perut Wahyu dan
saudara-saudaranya. Sekolah pun tidak menjadi prioritas.
Saat kelas 4 SD itu Wahyu mulai khawatir tidak bisa sekolah. Ketika itu ia pun mulai menabung uang jajannya agar bisa sekolah.
“Saat itu saya berpikir kalau tidak sekolah bisa seperti kakak saya.
Saya cuma bisa memendam di dalam hati karena tidak berani cerita ke
orang tua saya yang galak,” kenangnya.
Kehidupan Wahyu kecil tentu tidak seperti anak-anak SD lainya yang
hanya tinggal belajar, tidak memikirkan masalah uang bulanan sekolah.
Sampai suatu ketika ia bermain ke rumah tetangganya yang berprofesi
sebagai pemulung di kampungnya.
Tetangga kampung yang bernama Ani dan anaknya yang bernama Jery hidup
dengan cara memulung. Karena keinginannya yang kuat buat membiayai
sekolah, maka Wahyu menyatakan ingin ikut menjadi pemulung pada
tetangganya itu.
“Biar dapat duit supaya bisa sekolah. Dulu saya tidak tahu itu mulung, saya tahunya ngumpul sampah jadi duit,” jelas Wahyu.
Sejak itu, 10 tahun yang lalu, Wahyu memulung mulai dari jam 1 malam
hingga pagi waktunya sekolah. Kemudian memulung itu dilanjut lagi dari
jam 22.00 hingga pukul 02.00 dini hari.
Rupiah demi rupiah ia kumpulkan hingga akhirnya menghasilkan uang.
Sebagian dari uang tersebut digunakannya untuk membeli beberapa ekor
anak ayam.
“Anak ayam itu saya ternakkan, kemudian ditabung. Terkumpul sekitar
satu jutaan rupiah buat saya masuk sekolah SMPN 28 Bekasi,” katanya.
Ketika SMP dia masih terus memulung untuk uang jajan sampai bayar SPP
sekolah. Nenek Wahyu memberinya sepasang anak kambing untuk
diternakkan. Hasilnya dia gunakan untuk uang masuk sekolah ke SMA 7
Bekasi. Selain menjadi pemulung dan menjual hasil ternak, Wahyu juga
berjualan gorengan.
Sindiran dan cibiran diterima Wahyu dari teman-temannya ketika
mengetahui profesinya yang identik dengan sampah dan kotor. Pemuda ini
mengaku sempat kesal dan malu, namun disimpannya rasa itu dalam hati.
Dia makin giat menjadi pemulung saat masa libur sekolah karena
kekhawatiran tidak bisa melanjutkan kuliah. Dari hasil memulung ini,
Wahyu mendapatkan penghasilan Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per hari
untuk biaya sehari-hari hingga bisa menyisakan Rp 300 ribu-Rp 500 ribu
per bulan.
Hingga kini, Wahyu masih terus memulung untuk meneruskan kuliahnya di
Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Prof Dr
Hamka (Uhamka). Beruntung, dia mendapatkan beasiswa dari kampus dan
Disdik DKI sehingga meringankan biaya kuliahnya.
Kini Wahyu sudah sidang skripsi yang berjudul “Pengaruh Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bekasi’.
Rencananya ia akan diwisuda pada bulan Desember 2013.
“Aku berencana melanjutkan studiku ke S2. Bukan hal yang mudah
memang. Itu perjuangan besar,” kata Wahyu yang akan terus memulung
hingga kelar S2 dan ingin menjadi pengusaha di bidang peternakan ini.
0 komentar:
Posting Komentar